Toleransi di Hari Raya Fitri

Kamis, April 20, 2023 Add Comment

Penulis: MOHAMAD ANAS

MASYARAKAT muslim Indonesia sebetulnya beberapa kali sudah pernah mengalami perbedaan dalam merayakan hari raya Idul Fitri. 

Dimungkinkan, hari raya Idul Fitri tahun 2023 juga mengalami perbedaan. Ormas keagamaan Muhammadiyah jauh hari telah resmi menetapkan hari raya Idul Fitri 1444 Hijriah jatuh pada Jumat, 21 April 2023, sebagaimana yang tertuang dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/1.0E/2023 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 H (Kompas, 18/04/2023). 

Sedangkan pemerintah melalui Kementerian Agama dan Nahdlatul Ulama (NU) masih menunggu hasil rukyat yang akan diputuskan dalam Sidang Isbat Hari Raya 1444 Hijriah yang rencananya dilaksanakan pada Kamis, 20 April 2023. 

Perbedaan pandangan dalam penetapan 1 Syawal 1444 Hijriah berdampak pada ritual keagamaan berupa salat Idul Fitri yang membutuhkan tempat beribadah, khususnya bagi warga Muhammadiyah yang secara pasti melaksanakan salat Idul Fitri Jumat, 21 April tahun ini. 

Muncul penolakan dari beberapa kalangan, bahkan beberapa pemerintah daerah, tidak mengizinkan penggunaan fasilitas pemerintah bagi ormas yang melaksanakan salat Idul Fitri yang berbeda dengan pemerintah. 

Alhasil, kondisi ini memantik keprihatinan ketua umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir meminta pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan, terutama terkait dengan penggunaan fasilitas publik yang sudah seharusnya digunakan untuk semua kelompok tanpa pandang bulu. Lebih jauh, Haedar Nasir mengkhawatirkan terjadinya rezimisasi agama dapat berdampak atas penihilan penghargaan terhadap perbedaan. 

Secara fiqh, merekomendasikan masalah tersebut untuk dikembalikan kepada pemerintah jika terjadi khilafiyah, sebagaimana cuitan Profesor Nadirsyah Hosen (akrab dipanggil Gus Nadir), berimplikasi tidak adanya kewajiban pemerintah memfasilitasi ormas yang melaksanakan salat Idul Fitri lebih awal karena seharusnya ketaatan pada pemerintah menghapus khilafiyah atau perbedaan pandangan yang terjadi di tengah masyarakat (Jatimnetwork.com, 19/04/2023). 

Akan tetapi, secara konstitusi, pemerintah dalam hal ini Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta pemerintah daerah untuk memfasilitasi penggunaan fasilitas umum atau fasum bagi yang melaksanakan salat Idul Fitri di hari Jumat, 21 April 2023. 

Dorongan serupa juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD agar pemerintah daerah memfasilitasi pemakaian fasum untuk salat Idul Fitri bagi ormas yang telah meminta izin penggunaannya. Respons cepat pemerintah ini mendapatkan apresiasi publik di tengah terjadinya kegaduhan mengenai penggunaan fasilitas publik.

Agama di Ruang Publik 

Implikasi masuknya agama di ruang publik pada akhirnya mengundang polemik karena pemerintah dinilai tidak lagi netral. Kedekatan rezim pemerintah pada salah satu ormas keagamaan, dalam hal ini NU, mengakibatkan terancam diabaikannya hak beribadah ormas Muhammadiyah yang berbeda pandangan mengenai hari raya Idul Fitri. 

Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika ormas Muhammadiyah bergandengan tangan dengan pemerintah, NU menjadi ormas yang juga terancam hak beribadahnya karena berbeda dalam penentuan hari raya Idul Fitri. 

Kondisi gagap terjadi ketika ormas Muhammadiyah di Pekalongan meminta pemerintah kota untuk memfasilitasi dan berujung penolakan atas permohonan izin tersebut. Penolakan ini buru-buru dicabut dan berujung permintaan maaf oleh wali kota Pekalongan. 

Ketidakjelasan posisi pemerintah (baca agama dan negara) akhirnya berdampak pada kebijakan yang tidak mempunyai pijakan dasar yang kuat. Kedekatan pemerintah dengan ormas keagamaan tertentu (atau ketika agama terlanjur masuk di ruang negara) mengakibatkan diabaikannya prinsip dasar konstitusi yang menjamin hak semua warga negara. 

Pilihan relasi agama dan negara di Indonesia yang disebut bersifat simbiosis-mutualisme atau differentiation (perbedaan ruang tetapi keduanya saling terhubung) pada akhirnya dalam prakteknya tidak sekokoh dalam pola sekularisme (memisahkan agama dari negara) atau agamisme (menjadikan agama sebagai dasar negara). 

Dilema relasi agama dan negara yang secara konseptual masih rapuh ini perlu pengkajian ulang dalam format yang mampu mengakomodir semua pandangan dan keberagaman. 

Toleransi Menjadi Kunci 

Perbedaan penentuan 1 Syawal 1444 Hijriah pada tahun 2023 yang sejatinya juga pernah terjadi ditahun-tahun sebelumnya telah mampu menempa kedewasaan warga muslim Indonesia yang menyikapi perbedaan. 

Jika terdapat warga muslim Indonesia secara mayoritas melaksanakan hari raya yang berbeda dari warga muslim lainnya, maka sudah seharusnya untuk tidak mengundang gaduh dengan mengintervensi kelompok lain yang melaksanakan salat Idul Fitri lebih awal. 

Tepa slira masyarakat muslim yang melaksanakan hari raya lebih awal tentu saja juga harus menghargai sesama warga yang masih menjalankan puasa. Toleransi yang demikian mensyaratkan terjadinya relasi yang egaliter dan seimbang secara horizontal. Sedangkan bentuk bentuk toleransi pemerintah sebagai aparatus ideologis juga dapat memayungi titik-titik perbedaan tersebut agar tidak sampai terjadi pengabaian hak-hak beragama dan berkeyakinan. 

Praktek toleransi warga dalam menyikapi perbedaan hari raya tidak hanya sebatas koeksistensial, pengakuan akan perbedaan, tetapi jauh lebih dari itu berupa mutual respect yang cukup indah dalam upaya mengelola perbedaan. 

Di media sosial hari-hari ini kita disuguhkan pemasangan baliho di beberapa fasilitas umum yang menampilkan jadwal hari raya Idul Fitri di tanggal 21 dan 22 April 2023. Respek dan tindakan yang dilakukan para pemuka agama di beberapa titik masjid tidak lain sebagai bentuk toleransi aktif dalam tindakan. 

Mekanisme kultural masyarakat dalam menyelesaikan perbedaan pandangan ini layak untuk diapresiasi dan sekaligus menjadi modal sosial yang tangguh dalam penyelesaian problem sosial yang seringkali tidak mampu diselesaikan melalui pendekatan formal-struktual. 

Spirit persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) yang menjadikan budaya masyarakat (tepa slira, gotong-royong, dan seterusnya) sebagai media untuk menyemai persatuan dengan mengesampingkan ego kebenaran masing-masing organisasi keagamaan menjadi kapital sosial yang baik dalam merawat keberagaman, termasuk keberagaman dalam pandangan keagamaan. 

Wallahu ‘alam bisshawab.

_______________________________________________

MOHAMAD ANAS

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (PKM) Universitas Brawijaya Malang; dosen pada Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya Malang.